Rabu, 18 September 2013

Teori Pers Libertarian


Pendahuluan
Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan system pengawasan sosial dimana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana pers itu berfungsi. Untuk melihat sistem-sistem sosial dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakinan dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu: hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan antar manusia dengan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada sistem pers adalah perbedaan filsafat.
Teori pers libertarian ini berangkat dari sebuah konsep, yaitu liberal dan kebebasan. Liberal yang memainkan konsep mekanisme pasar dan pemerintah tidak jauh mengintervensi. Konsep liberal ini yang menjadi cikal bakal adanya teori pers libertarian ini. Konsep liberal itu jika diimplementasikan ke dalam pers menjadi sebuah teori pers libertarian. Tokoh paham liberal yang terkenal adalah Niccolò Machiavelli.
Disaat perang dunia kedua telah berakhir dan memasuki perang dingin antara barat dan timur, Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schram tampil dengan 4 macam teori Pers. Salah satunya yaitu teori pers Libertarian.
Teori itu muncul untuk menjelaskan keadaan pers di dunia. Teori ini muncul berdasarkan keadaan dunia tahun 1950. Teori ini  sendiri baru lahir di tahun 1956. Menurut teori ini pers bukan sebagai alat pemerintah akan tetapi sarana yang tepat untuk menyalurkan hati masyarakat untuk memberikan masukan dan mengawasi kinerja pemerintah agar pemerintah tidak bisa berbuat semena-mena.
Studi Kasus
Sistem pers liberal (libertarian) berkembang pada abad ke 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara Barat yang sering disebut aufklarung (pencerahan). Esensi dasar sistem ini memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini bahwa manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya secara baik jika diberi kebebasan. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur sekelilingnya untuk tujuan yang mulia. Kebebasan adalah hal yang utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol pemerintah dipandang sebagai manifestasi “pemerkosaan” kebebasan berfikir. Oleh karena itu, pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya, un tuk membantu mencari kebenaran. Kebenaran akan diperoleh jika pers diberi kebebasan, sehingga kebebasan pers menjadi tolak ukur dihormatinya hak bebas yang dimiliki manusia.[1]
            Pers yang kian bebas dan terbuka memberikan angin segar bagi indonesia. Setelah 30 tahun lebih berada dalam tekanan oleh  pemerintah, akhirnya tiba saat dimana semua itu telah berakhir dan dimulai era baru. Namun banyak yang mengatakan bahwa pers dan media sekarang bebasnya terlalu kebablasan. Hal ini muncul dari pemberitaan media yang terkadang kurang seimbang antara kepentingan pers dan kepentingan masyarakat. Pihak pers kurang objektif dalam mengemas dan menyampaikan berita. Bahkan ada pihak media yang cenderung memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri dalam penyampaian berita. Ditengah pesatnya pengguanaan media massa, kita dapat melihat betapa banyaknya media yang mulai kehilangan ke-independenannya dalam penyampaian berita. Kita dapat melihat sekarang pers menjelma sebagai senjata politik. Banyak sekali para pemilik berbagai media sekarang ini merupakan aktor-aktor politik, sehingga berita-berita menjadi sarana untuk turut menjatuhkan lawan politiknya. Hal itu salah satu potret negatif mengenai pers di era reformasi ini.
Perumusan Masalah
Teori pers libertarian mengatakan bahwa pers dan media berhak dimiliki siapapun. Pada intinya teori ini berlandaskan dengan prinsip kebebasan.[2]   Teori ini mengajarkan bahwa manusia memiliki hak-hak yang di perolehnya secara alamiah sehingga apabila ada kekangan atau pengawasan yang terlampau ketat  dari pemerintah, maka manusia susah untuk mendapatkan kebenaran yang sejati terhadap sebuah peristiwa atau berita.
Dalam teori Libertarian, pers bukan instrumen pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argumen-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas dari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.
Pembahasan
Teori pers liberal berkembang sebagai dampak dari masa pencerahan dan teori umum tentang rasionalisasi serta hak-hak alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter. Dari tulisan Milton, Locke dan Mill dapat dimunculkan pemahaman bahwa pers  harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur dan mencari keuntungan. Di bawah teori pers liberal bersifat swasta, dan siapa pun yang mempunyai uang yang cukup dapat menerbitkan media. Media dikontrol dalam dua cara. Dengan beragamnya pendapat “proses pembuktian kebenaran” dalam “pasar bebas gagasan” akan memungkinkan individu membedakan mana yang benar atau salah. demikian pula dengan sistem hukum yang memiliki ketentuan untuk menindak tindakan fitnah, tindakan senonoh, ketidaksopanan, dan hasutan dalam masa peperangan.
Teori pers liberal ini berkembang di Inggris selama abad ke-18 tetapi tidak diperbolehkan dijalankan dikoloni Inggris di Amerika Utara sampai putusnya hubungan dengan negara induk tersebut. setelah tahun 1776, teori ini diimplementasikan di seluruh wilayah yang lepas dari pemerintahan kolonial dan secara resmi diadopsi dengan adanya Amandemen Pertama pada Piagam Hak Asasi Manusia baru yang ditambahkan ke dalam Undang–Undang Dasar (Severin & Tankard, Jr. 2005: 378).[3]
Sebutan terhadap pers sebagai “The Fourth Estate” atau “Pilar Kekuasaan Keempat”  setelah kekuasaan ekksekutif, legislatif, dan yudikatif pun menjadi umum diterima dalam teori pers libertarial. Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.
Gagasan Johm Milton tentang “self righting process” (proses menemukan sendiri kebenaran) dan tentang “free market of ideas” (kebebasan menjual gagasan) menjadi sentral dalam teori pers bebas ini. Berdasarkan gagasan Milton ini, dalam sistem pers bebas ini atau pers libertarian, pers dikontrol oleh “self righting process of truth”, lalu oleh adanya “free market of ideas”, dan oleh pengadilan. Implikasi dari “self righting process” adalah bahwa semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan setiap orang  punya akses yang sama pula ke sana.
Teori pers libertarian ini memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang terbatas kepada pers. Oleh karena itu, pers bebas juga paling banyak memberikan informasi, paling banyak memberikan hiburan, dan paling banyak terjual tirasnya. Tetapi, di balik paling banyak dalam ketiga segi itu, pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit pula mengadakan kontrol terhadap pemerintah. Dalam perusahaan pers macam ini memang terdapat sedikit sekali pembatasan-pembatasan serta aturan-aturan yang membatasi. Sebagian besar aturan-aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemiliknya sendiri. Pers semacam ini cenderung kurang sekali tertarik pada soal-soal bagi kepentingan masyarakat.[4]
Dalam hubungannya dengan kebebasan pers (media massa), teori libertarian beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu apabila disampaikan melalui pers (Rachmadi, 1990: 34-35).
Pihak yang berhak menggunakan media massa dalam teori libertarian adalah siapa pun yang mempunyai sarana ekonomi. Para pemilik medianya pada umumnya adalah swasta. Tujuan dan fungsi media massa menurut paham liberalisme adalah memberi penerangan, menghibur, menjual, namun yang terutama adalah menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah serta untuk mengecek atau mengontrol pemerintah
Media dilarang menyiarkan pencemaran nama baik atau penghinaan, menampilkan pornografi, tidak sopan, dan melawan. Bila dilanggar, maka akan diproses melalui pengadilan (Siebert, Peterson, dan Schramm dalam Severin & Tankard, 1992: 286-287).[5]


Menurut konsep libertarian, pers mempunyai tugas:
1.      Melayani kebutuhan kehidupan ekonomi (iklan)
2.      Melayani kebutuhan kehidupan politik
3.      Mencari keuntungan (demi kelangsungan hidupnya)
4.      Menjaga hak warga negara
5.      Memberi hiburan
Sedangkan ciri pers bebas berdasarkan teori libertarian, dapat di perinci sebagai berikut[v]:
1.      Publikasi bebas dari setiap penyensoran pendahuluan
2.      Penerbitan dan pendistribusian terbuka bagi setiap orang tanpa memerlukan izin atau lisensi
3.      Kecaman terhadap pemerintah, pejabat atau partai politik tidak dapat di pidana
4.      Tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal
5.      Publikasi “kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan
6.      Tidak ada batasan hukum terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi
7.      Wartawan punya otonomi profesional dalam organisasi mereka
Kesimpulan
Asumsi dasar teori pers libertarian adalah bahwa manusia pada hakikatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh rasio atau akalnya. Manusia mempunyai hak secara alamiah untuk diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat.
Dalam teori Libertarian, pers bukan instrumen pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argumen-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Pers  harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur dan mencari keuntungan.
Dengan demikian, pers seharusnya bebas dari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.
Implikasi                                                                                        
Sesuai dengan ajaran demokrasi, manusia memiliki hak alamiah untuk mengejar kebenaran yang hakiki dan memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat, secara lisan dan tulisan (pers) tanpa kontrol dari pemerintah (pihak luar). Maka teori libertarian berpendapat bahwa pers harus memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk membantu manusia mencari dan menemukan kebenaran hakiki tersebut. Salah satu caranya melaiui pers.
Menurut teori ini, pers merupakan sarana penyalur hati nurani rakyat untuk mengawasi dan menentukan sikap kebijakan pemerintah karena ia bukanlah alat kekuasan pemerintah, sehingga harus bebas dari pengaruh dan pengawasan pemerintah. Dengan demikian teori ini memandang sensor merupakan tindakan yang inkonstitusional terhadap kemerdekaan pers.

Daftar Pustaka
Sibert, Fred s. Peterson, Theodore. Schram, Wilbur. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta; PT Intermasa
Severin, Werner J. Tankard, James W. 2011. Teori Komunikasi; Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta; Prenada Media Group
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran : Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta; PT. LkiS
Harahap K. 2000. Kebebasan Pers di Indonesia dari Masa ke Masa. Bandung. Grafitri
Nurudin. 2004. Sistem Komunikasi Indonesia, Jakarta; Rajawali Press
Bungin, Burhan. 2011. Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Prenada Media Group
Kusumaningrat, Hikmat. 2005. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung; Remaja Rosdakarya
Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Jakarta: Simbiosa Rekatama Media







[1] Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm.72-73
[2]  Masduki. (2007). Regulasi Penyiaran : Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: PT.LKiS. hal. 65
[3] Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Prenada Media Group. 2011  Hal. 294
[4] Kusumaningrat, Hikmat. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005 hal. 20
[5] Ardianto, Elvinaro. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi.Jakarta: Simbiosa Rekatama Media. 2007  hal. 160-161

6 komentar: