Pengantar
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Sebagai bandingan Syi’ah. Diantara mereka ada yang disebut salaf, yakni generasi awal mulai dari para sahabat, tabiin dan tabi’ut tabi’in, dan ada juga yang disebut Kholaf, yaitu generasi yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersifat konservatif (muhafidzun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam.
Dari definisi ini jelas, bahwa Ahlussunnah wal-Jama’ah itu tidak terdiri dari satu kelompok aliran, tetapi ada beberapa sub-aliran dan ada beberapa faksi di dalamnnya. Karenanya Dr. Jalal M. Musa mengatakan, bahwa istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini menjadi rebutan banyak kelompok, masing-masing membuat klaim bahwa dialah Ahlussunnah wal-Jama’ah. Dan dimasukkannya kata “al-Jama’ah” dalam istilah ini oleh Abdul Mudhoffar al-Isfarayini diberikan alasan karena mereka menggunakan “Ijma” dan “Qiyas” sebagai dalil-dalil syar’iyyah yang fundamental, disamping Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul.
Pembahasan
Ahlussunnah wal jama’ah memang satu istilah yang mempunyai banyak makna, sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya adalah “Ahlussunnah wal jama’ah seperti yang dinyatakan Dr. Jalal M. Musa dalam Nasy’at al-Asy’ariyahnya, bahwa istilah dan nama Ahlussunnah Wal Jama’ah itu mempunyai pengertian yang luas sekali dan juga mempunyai pemaknaan yang terbatas sekali. Yang sangat luas tersebut mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal jama’ah ialah yang selain syi’ah, sehingga dalam pengertian ini Mu’tazilah, khawarij juga masih masuk kelompok Ahlussunnah wal jama’ah. Sebaliknya pemaknaan yang sangat terbatas mengatakan, bahwa
Ahlussunnah wal jama’ah adalah identik dengan Asy’ariyah. Diantara macam-macam pendapat yang muncul, terdapat mayoritas Ulama dan Pemikir Islam mengatakan bahwa Ahlussunnah wal jama’ah itu merupakan golongan mayoritas umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti ajaran dan amalan (sunnah) Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya, dan membela serta memperjuangkan berlakunya di tengah-tengan kehidupan masyarakat Islam.
Salah satu sebab yang membedakan diantara masing-masing kelompok tersebut adalah faktor metodologis dalam memahami doktrin-doktrin skriptural (ajaran-ajaran nash kitab suci maupun teks hadits), dan didalam memberikan konsesi (izin/peluang) peranan akal dalam pemahaman dan penafsiran tersebut. Ada kelompok yang tekstualis/literalis (terikat pada bunyi nash) ada yang kontekstualis/substansialis (melihat kaitan dan hakikat maksudnya). Ada lagi yang memilih jalan tengah (tawassath/moderat) diantara kutub-kutub pemikiran metodologi tersebut.
Untuk dapat memahami ahlussunnah wal Jama’ah secara utuh, tidak mungkin hanya menggunakan pendekatan doktrinal saja, tetapi sedikitnya menggunakan tiga pendekatan yaitu :
Pertama : Pendekatan Historis, Ahlussunnah wal Jama,ah ini telah melahirkan konsep dan pandangan serta doktrin-doktrin yang secara teoritis bersentuhan dengan perjalanan sejarah ummat ini sejak zaman Rasulullah SAW sampai zaman mutakhir. Meskipun akar-akarnya tetap terkait kuat dengan ‘aqidah “Tauhid”, dan prisnsip-prinsip keimanan yang abadi, tetapi wujud formulasi konseptualnya bisa berbeda.
Kedua : Pendekatan Kultural, muncul dan berkembangnya ilmu kalam sebagai disiplin keilmuan Islam yang berkonsentrasi pada masalah-masalah aqidah dengan menggunakan dalil-dalil ‘aqliyah (argumen rasional) tidak lepas dari factor eksternal (terjadinya akulturasi atau persentuhan antar budaya). Lahirnya Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah, Khawarij secara terbuka belum terjadi sebelumnya (meskipun benih-benihnya sudah ada sejak abad pertama hijriah), masing-masing mempunyai keyakinan, doktrin-doktrin fundamental, argument rasional maupun tekstual, teori dan metodologi, system berdebat (ilmu al-jadal) untuk menghadapi dan mengalahkan lawan.
Ketiga : Pendekatan Doktrinal, meskipun pada mulanya Ahlusunnah wal jama’ah itu menjadi identitas kelompok/golongan dalam dimensi teologis atau ‘aqidah Islam, dengan fokus masalah ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya tidak bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti dimensi Syari’ah/Fiqhiyyah atau dimensi Tashawwuf, bahkan masalah budaya, politik dan sosial, karena kuatnya jaringan yang tali-temali antara yang fundamental tadi dengan cabang rantingnya.
Al-Ghazali melihat ilmu kalam sebagai kebutuhan objektif dalam menghadapi tantangan faham-faham teologi lain yang menggunakan pendekatan dan argumentasi rasional, tanpa mengabaikan argumentasi tekstual (dalil-dalil naqliyah). Sikap demikian kiranya patut diterima sebagai sikap yang arif dan objektif, apalagi di dalam menghadapi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, yang banyak kaitannya dengan ‘aqidah juga, terutama masalah kosmologi (ilmu yang mengkaji hakekat, struktur, dan hubungan jagad raya dalam sistem yang teratur, termasuk hubungan bumi dengan matahari di jagad raya ini).
Tiga model pendekatan tersebut (Historis, Kultural, dan Doktrinal) akan membantu memahami Ahlussunnah wal jama’ah secara utuh sebagai suatu perangkat aqidah, suatu citra gerakan, suatu karakter sosial, dan suatu model budaya.
Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Penyebutan Ahlussunnah wal jama’ah ini juga digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Dan para Imam Mazhab Fiqih; seperti Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam As-Syafi’I (w. 204 H) dan Imam Ibnu Hambal (w. 241) dikenal sebagai tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi dan Imam At-Thohawi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari hadits Nabi SAW yang menerangkan akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan.
Umumnya para Ulama berpendapat, bahwa dalam kajian Ilmu Kalam, masalah Firqah (pengelompokkan) yang dimaksudkan adalah dalam masalah ‘aqidah atau ushuluddin, bukan dalam masalah fiqhiyah (furu’iyah) maupun masalah-masalah ijtima’iyah. Meskipun demikian ada implikasinya (keterkaitannya) dengan masalah-masalah diluar ‘aqidah. Sebagai contoh, Syi’ah yang meyakini supremasi kepemimpinan pada keturunan Nabi Muhammad SAW menganggap bahwa para Imam mereka itu Ma’sum (tidak bersalah), ini jelas dapat berpengaruh dalam masalah ijtima’iyah, utamanya masalah politik dan pemerintahan.
Nahdatul Ulama melalui Qanun Asasinya maupun keputusan-keputusan organisatorisnya yang resmi, seperti Muktamar atau Munas (Musyawarah Nasional), telah menetapkan dalam masalah Aqidah mengikuti Imam Abul Hasan Al-Asy’ari atau Imam Abu Mansur Al-Maturidi, dua Imam Ahlussunnah wal jama’ah yang paling popular di dunia Islam sampai sekarang. Dengan demikian warga Nahdliyin dengan sadar atau ikut-ikutan telah menyatakan dirinya sebagai golongan “Asy’ariyah atau Maturidiyah” (golongan yang mengikuti Imam Al-Asy’ari atau Imam Al-Maturidi). Hal demikian tidak aneh, mengingat warga Nahdliyin dalam masalah fiqih adalah pengikut Imam syafi’I (sebagaimana halnya Imam Syafi’i) atau dalam masalah tertentu mengikuti Asy’ari juga dalam masalah fiqih mengikuti madzhab-mazhab Hanafi (seperti halnya Imam Maturidi dalam masalah fiqih sebagai pengikut setia Imam Abu Hanifah). Beda dengan penganut “Ahlus Salaf atau Ahlu Atsar” (penganut Imam Ibnu Hambal, yang dilanjutkan Ibnu Taimiyah dan dikembangkan lebih radikal oleh Muhammad bin Abdul Wahab) rata-rata mereka dalam fiqih menjadi pengikut Mazhab Hambali, yang lebih cendrung hanya menggunkana dalil-dalil naqli, dan sangat membatasi peran akal dalam upaya pemahaman aqidah maupun syari’ah.
Ajaran-ajaran Al-Asy’ari dapat diketahui dari kitab-kitab yang ditulisnya menyusul keluarnya dari Mu’tazilah terutama dari kitab Al-Luma’ fi ar-Raddi ‘ala Ahli az-Zaighi wa al-Bida’ (kecemerlangan tentang penolakan terhadap penganut penyimpangan dan Bid’ah), dan kitab Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah (Uraian tentang Prinsip-prinsip Agama), serta Kitab Maqalat al-Islamiyin (Makalah mengenai orang-orang Islam). Tesis-tesisnya yang dipaparkan antara lain : Al-Asy’ari menolak ajaran Mu’tazilah yang tidak mengikuti adanya sifat-sifat Allah yang berbeda dengan Dzatnya. Al-Asy’ari juga menentang faham “Keadilan” yang wajib bagi Allah seperti kata Mu’tazilah (al-wa’du wa al-wa’id). Meurut Al-Asy’ari, orang Islam yang melakukan dosa besar tetaplah ia sebagai mukmin karena imannya masih ada. Tetapi karena dosa besarnya (jika ia tidak segera tobat) itu dia menjadi fasiq (pendurhaka). Apabila sampai mati belum tobat, maka nasibnya terserah Allah sendiri, diampuni karena kemurahan-Nya, atau disiksa karena kedurhakaan orang tersebut. Malasah status orang mukmin yang berdosa besar ini mengemuka, setelah terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan RA, oleh orang-orang Islam sendiri, juga kasus-kasusu lain yang menyusul, seperti perang saudara sesama muslim pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib RA. Orang khawarij dan Mu’tazilah mengatakan, bahwa orang-orang yang terlibat perbuatan dosa-dosa besar ini menjadi kafir karena dosa besarnya, atau bukan kafir tetapi tidak mukmin lagi.
Aliran Asy’ariyah ini memperoleh pengikut terbanyak di lingkungan umat Islam, antara lain karena diikuti oleh para pengikut dua Mazhab terbesar dalam fiqih, yakni Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki. Dari mazhab Syafi’i layak mendapatkan dukungan luas, mengingat Imam Al-Asy’ari sendiri dalam malasah fiqih menjadi pengikut Mazhab Syafi’i. Sedangkan dukungan dari Mazhab maliki, karena diantara diantara tokoh-tokoh Asy’ariyah terdapat nama besar, yakni Imam Abu Bakar Al-Baqillani dan Ibnu Taumart yang keduanya sebagai pengikut Mazhab Maliki dalam masalah fiqih, terutama di wilayah Afrika Utara sampai sekarang.
Penutup
Ahlussunnah wal jama’ah itu tidak terdiri dari satu kelompok aliran, tetapi ada beberapa sub-aliran dan ada beberapa faksi di dalamnnya. Istilah Ahlussunnah wal jama’ah memang satu istilah yang mempunyai banyak makna, sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya adalah “Ahlussunnah wal jama’ah bahwa istilah dan nama Ahlussunnah Wal Jama’ah itu mempunyai pengertian yang luas sekali dan juga mempunyai pemaknaan yang terbatas sekali.
Salah satu sebab yang membedakan diantara masing-masing kelompok tersebut adalah faktor metodologis dalam memahami doktrin-doktrin skriptural (ajaran-ajaran nash kitab suci maupun teks hadits), dan didalam memberikan konsesi (izin/peluang) peranan akal dalam pemahaman dan penafsiran tersebut.
Nahdatul Ulama melalui Qanun Asasinya maupun keputusan-keputusan organisatorisnya yang resmi, seperti Muktamar atau Munas (Musyawarah Nasional), telah menetapkan dalam masalah Aqidah mengikuti Imam Abul Hasan Al-Asy’ari atau Imam Abu Mansur Al-Maturidi, dua Imam Ahlussunnah wal jama’ah yang paling popular di dunia Islam sampai sekarang.
Buku ini sangat baik sekali bagi kalangan Akademisi maupun Agamis yang ingin mendalami, memahami, dan mengetahui lebih jauh lagi informasi dan identitas mengenai NU (Nahdatul Ulama) karena didalamnya dijelaskan banyak mengenai asal-muasal dari lahirnya organisasi keagamaan (Jami’iyah Islamiyah) yang besar, malah mungkin terbesar dalam jumlah aggotanya di Indonesia. Semoga buku ini dapat menjadi khazanah keilmuan yang sangat baik khususnya dibidang pengetahuan Islam dan bermanfaat bagi banyak orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar