Pendahuluan
Agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi, di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam.
Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami
perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter, dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah sistem budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber, dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu sistem yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Geertz berkayinan bahwa agama adalah sistem budaya yang dapat membentuk karakter masyarakat. Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Pembahasan
Melihat sejarah kedatangan Islam di kepulauan Nusantara, yang masuk ke tengah kehidupan masyarakat Indonesia saat ini sudah bukan lagi Islam asli, seperti yang pertama berkembang di tanah Arab. Islam yang datang adalah Islam yang telah bertradisi lokal sesuai tradisi yang dianut para pembawanya (da’i). Sebagaiman a diketahui, penyebar Islam yang pertama terdiri dari para pedagang yang berasal dari India Selatan atau daerah pantai Malibar, pedagang Cina (Cempa), Persia, dan Arab sendiri. Mereka datang untuk pertama kali ke Aceh bersama kepercayaan yang mereka pahami dari aturan atau hukum-hukum Islam. Dengan demikian, Islam disini, di masyarakat yang pada awalnya merupakan jalinan perdagangan kemudian menyebar ke penjuru Indonesia adalah Islam yang telah menyesuaikan dengan keyakinan masyarakat lokal, karena pertimbangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Pada sisi lain, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia juga telah memiliki tradisi yang mewakili keyakinan mereka terhadap suatu kekuatan alam yang misteri dan gaib atau Tuhan. Tradisi ini berujud keyakinan yang dikenal dengan istilah animisme dan dinamisme. Animisme berarti percaya kepada roh-roh halus atau roh leluhur yang ritualnya terekspresikan dalam persembahan tertentu di tempoat-tempat yang dianggap kramat. Sedngakan dinamisme adalah keyakinan bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan gaib, karena itu harus dihormati dan terkadang harus dilakukan ritual tertentu untuk menjaga tuah-nya. Keyakina semacam itu membentuk perilaku sehari-hari, baik dalam wujud etika maupun ekspresi berkesenian.
Kedua tradisi itu, Islam dan tradisi lokal, akhirnya bertemu dengan masyarakat, baik secara kolektif maupun individual, tanpa bisa diklasifikasikan secara pasti mana yang berasal dari Islam dan mana yang produk lokal. Lama-lama tradisi itu berkembang, diwariskan dari generasi ke generasi dan ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Dalam pewarisan itu sebenarnya tidak hanya terjadi secara pasif, tetapi juga dikonstruksikan sesuai dengan yang dipahami ahli waris dalam konteks sosial budaya di mana mereka berada. Pewarisan dan konstruksi atau rekonstruksi ini terjadi melalui serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan yang menunjukan kesinambungan dengan masa lalu. Jadilah tradisi yang muncul kemudian berada di tengah kombinasi antara tadisi-tradisi pra-Hindu-Budha, tradisi zaman Hindu-Budha, dan tradisi Islam, yang disebutkan tidak asli tadi.
Upacara ritual Seblang[1]
Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Seblang adalah sebuah pertunjukan ritual keagamaan tahunanyang diadakan oleh masyarakat Olehsari sebagai “persembahan agung” untuk selamatan desa. Sebagai acara ritual, seblang memiliki aturan dan tata cara sendiri. Aturan dan tata cara tersebut meliputi: waktu, tempat, pelaku (terutama penari) dan yang tak boleh ketinggalan, sajen (sesaji) tertentu. Ekspresi sosial dari ajaran agama dihidupkan dan dipelihara oleh adanya masyarakat penganut.
Tari Seblang bukanlah satu-satunya tari tradisional Indonesia yang diadakan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesuburan tanaman yang mereka peroleh. Dalam budaya Jawa-Mataraman dikenal yang namanya upacara 'Bersih Desa'. Pada budaya Jawa non-Mataraman, dikenal pula upacara 'Sedekah Bumi'. Tari Seblang pun, melambangkan kesuburan dengan simbol mahkota yang dipakai oleh sang penari yang dihias dengan kembang aneka warna yang melambangkan kesuburan. Pada awalnya kesenian Seblang merupakan bentuk kesenian berdasarkan mithologi, konon seblang adalah sisa dari kebudayaan para Hindu yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa lampau. Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih desa dan tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram.
Tata cara upacara
Proses-proses upacara ritual Seblang di Olehsari mempunyai ciri khas dan ketentuan tersendiri. Ciri khas pertama, yaitu waktu pelaksanaan ada ketentuannya dan terpilih. Hari pelaksanaan upacara selalu ditentukan pada hari Senin atau Jum’at. Pelaksanaan pada tahun 2001 jatuh pada hari Jum’at tanggal 21 Desember. Waktu penyelenggaraan antara jam 14.00 sampai berakhir kira-kira jam 17.00. menurut informasi dulu acara ini dilaksanakan pada bulan awal tahun Qhamariyah (Suro-Jawa), namun tidak ada yang tahu sejak kapan dan kenapam, sekarang pelaksanaannya selalu pada bulan Syawwal, setelah hari raya Idul Fitri. Upacara ritual ini dilaksanakan sepekan berturut-turut, dan setelah upacara selesai dalam satu pekan, tepatnya pada hari kedelapan, para pendukung yang dalam hal ini Penggendhing, penari dan ibunya harus melakukan Siraman[2] mengembalikan para roh yang menempel dijasad ke alam asalnya. Kemudian setelah semuanya usai, baru mereka bersama tetangga sekitar lokasi siraman melakukan Selametan dengan do’a dan cara-cara Islami.
Ketentuan kedua mengenai lokasi upacara. Lokasi penyelenggaraan upacara seblang harus diadakan di desa olehsari, tidak boleh dan tidak bisa dilaksanakan di luar desa olehsari. Tempat ritual harus menghadap ke timur, dan harus ada bangunan kecil yang disebut tarub. Selain itu ada tempat duduk khusus bagi penari dan pesinden yang berada sedikit di belakang payung besar yang disebut payung agung. Pada acara ini, kaitannya dengan tempat, hari terakhir penari bersama seluruh pendukung acara harus berputar mengelilingi desa sambil menari, kemudian berhenti di balai desa, berjalan dan berhenti lagi di makam Mbah Bisu, dilantujkan menari sambil terus berjalan sampai ke lokasi awal pemberangkatan.[3]
Ketentuan ketiga berkaitan dengan pelaku upacara, lebih khusus penari. Dalam ritual Seblang ini, para pelaku harus dipilih dan ditentukan menurut adat yang berlaku. Pemimpin upacara dipilihkan orang yang dianggap mampu memimpin jalannya upacara. Asenan (Mbah Nan) adalah dukun “khusus” di desa Olehsari yang dipercaya oleh masyarakat menjadi pimpinan, yaitu untuk ngutungi dan ngundang roh halus.[4] Dalam pertunjukan tari, Asenan selalu membawa prapen (tempat untuk membakar kemenyan atau anglo) dan mengunyah kemenyan, kemudian ia mengasapi penari sebagai santapan dan minumannya (caos dhahar).
Selain itu, Asenan juga sebagai pengundang. Maksudnya, ia selain bertanggung jawab dalam upacara, juga bertanggung jawab pada masalah-masalah yang berkaitan dengan roh halus, terutama ketika pertunjukan tari akan dimulai dan akhir pertunjukan. Itu semua dilakukan, sebab sebelum penari melakukan gerak tari, terlebih dahulu dilakukan acara ngundang roh halus supaya masuk ke penari Seblang. Saat ngutungi untuk ngundang roh ini ada mantra yang dibaca sebagai berikut:
Kang ana ring pacemengan sembulungan
Kang ana ring Bali Anggenan
Kang ana ring Watudodol
Kang ana ring Antongan ring weringan
Mbah jalil, buyut ketut, para alus
Kang petang pucuk papattekho mrene, Mbah Jalil gandrungan
Aji Angringan, Buyut Saridin, Kang ana ring Kawah Ijen sang pengutug
Mreneyo diantengi ring pendopo agung.[5]
Berkaitan dengan penari Seblang, tidak bisa sembarang. Penari harus mempunyai garis keturunan dari seorang penari seblang. Adapun kesucian, yang berarti belum pernah menstruasi, atau belum pernah bersuami, pada masa sekarang ini bukan menjadi masalah. Begitupun dengan pelaku lain seperti pembuat oprok, perias, penabuh, dan pendamping penari adalah orang-orang khusus yang dipilih dengan dasar ada masyarakat olehsari secara turun temurun. Orang-orang tersebut selain mempunyai skill dibidangnnya masing-masing, juga masih ada jalinan keluarga dengan para sesepuh yang melakukan pelaku upacara Seblang terdahulu. Ketentun lain, mereka harus berdomisili di desa Olehsari.
Fungsi seblang pada Masyarakat
Kesenian Seblang adalah salah satu contoh kesenian yang dipercaya bernilai sakral di masyarakat osing olehsari, dan merupakan warisan budaya pra-Hindu. Tindakan upacara sakral bagi masyarakat olehsari merupakan komunikasi dengan tuhan maupun dengan leluhurnya. Disamping membawakan pesan-pesan kaitannya dengan religi juga dalam tata hubungan atau pergaulan antar sesamanya.
Setelah mengamati denga teliti dan mengadakan wawancara secara mendalam, dengan para penduung maupun dengan para budayawan (pakar) osing, serta mengikuti aktivitas-aktivitas selama persiapan, pelaksanaan sampai paripurnanya kegiatan ritual tahunan Seblang. Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Seblang sebagai selametan bersih desa
2. Sebalng pengundang kesuburan
3. Seblang sebagai sarana pengobatan penyakit
4. Seblang sebagai penghormatan leluhur
5. Seeblang sebagai hiburan roh halus
Refleksi atas keberagaman dan Seblang
Dalam hubungannya dengan masalah sosial kemasyarakatan, agama merupakan sarana memperkuat kesadaran kolektif ynag diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol atau ritus-ritusnya.[6] Simbol dan ritus mempunyai fungsi memperkuat kesadaran kolektif, hal itu karena pada waktu orang terlibat dalam upacara-upacara keagamaan, maka kesadaran mereka tentang collective conciousness semakin bertambah. Setelah upacara-upacara selesai, suasana keagamaan itu dibawa serta kedalam kehidupan sehari-hari.[7] Dengan demikian dapat dikatakan ritus seperti selametan dan ritual tahunan seblang berfungsi untuk memperkuat collective cociousness yang juga merupakan kesatuan tersendiri di luar diri manusia dan yang menguasai kehidupannya.
Di dalam sistem sosial budaya Osing, solidaritas itu menjelma dalam nilai dasar rukun yang menjadikan falsafah hidup bermasyarakat, sehingga semua tindakan dan pola bersikap warganya tidak jauh dari dasar budaya yang disebut rukun tersebut. Nilai itu, tidak diragukan bersal dari ajaran agama atau kepercayaan yang dianut masyarakat, disamping dari sistem etika sosial yang diwarisi turun temurun. Mereka ingin kehidupan masyarakatnya damai dan hati para pendukungnya tenang, sehingga apapun yang dilakukan adalah kebaikan demi ketenangan bersama.[8]
Dalam konteks keagamaan, agama yang dianut oleh masyarakat Osing Olehsari adalah Islam, yaitu Islam yang lebih bercorak tradisional. Kemudian bila dilihat dari pola keberagaman dan kulturnya, mereka bisa dikategorikan dalam istilah yang tidak bisa dihindari oelh setiap studi tentang Kebudayaan Jawa, yaitu abangan. Kelompok ini tampak dominan dan dan terus menjadi sasaran dakwah kaum santri yang tergabung dalam kelompok organisasi keagamaan dengan kegiatan yasinan dan tahlilan. Sekalipun demikian, kaum santri tidak menyebut para pemuja adat semacam Seblang ini sebagai orang yang sest atau salah, tetapi hanya belum tersadarkan dan tidak mengetahui yang sebenarnya, baik tentang Islam sebagai agama maupun Seblang sebagai tradisi berkesenian.
Bila diterapkan seperti definisi yang diungkapkan Geertz, agama sebagai sistem bentuk-bentuk simbolik yang mengungkapkan secara mendalam hakikat dasar bagi manusia dalam menghadapi dunianya, [9] maka tampaklah beberapa aspek sentral dari apa yang disebut sebgai agama tradisional. Dalam hal ini kosmologi Osing menggariskan hakikat dunia dan penghuninya dalam kaitan denganpenciptaannya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Definisi ini mngandung pembagian realitas lebih lanjut ke dalam dimensi yang tersembunyi dan dimensi yang dapat dilihat dengan mata.
Upacara seblang yang dilaksanakan tahuna oleh masyarakat Olehsari sebenarnya tampak sebagai tradisi yang penuh ambiguitas. Melihat tata fisik arena dan penyajian tari dengan segala aksesoris yang menempel, juga sesaji-sesaji yang disuguhkan atau dipasang dibawah tarub sebagai para bungkil. padahal penduduk sekitar dimana upacara itu dilaksanakan memeluk agama Islam.
Di daerah Osing Olehsari, kepercayaan dan pemitosan kepada tokoh-tokoh seblang hanya dimiliki oleh para orangtua yang awam dan para keturunannya yang juga awam dan tidak mengenyam pendidikan modern kecuali setingkat sekolah dasar. Kepercayaan dan pemitosan itu termotivasi oleh perasaan ingin tetap lestari dengan status sosialnya sebagai orang yang ditokohkan. Jadi di kalangan sesepuh pelaksana Seblang ada perasaan galau karena identitasnya dan harga dirinya terancam. Oleh karena itu, mereka perlu menjaga tradisi tersebut, sehingga tidak jarang acara tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak semestinya.
Dalam acara Seblang, perasaan senasib sepenanggungan melekat disanubari setiap individu. Nilai yang mereka junjung adalah kebersamaan untuk menjaga prestise di tengah acara yang telah menjadi komoditas yang bernilai komersial tersebut. Sebagai sebagai tradisi berkesenia yang profan namun bernuansa hitoris, tentu akan terus berkembang dengan kemasan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Akan tetapi, sebagai tradisi ritual yang sakral, dengan muatan keyakinan dan kepercayaan tertentu, mungkin saja suatu saat akan hilang, seiring modernisasi yang menuntut efektifitas dan rasionalitas yang membutuhkan kesimpelan dan akal jernih dalam bertindak.[10]
Referansi
Khalil, Ahmad. 2008. Islam Jawa: Sufisme dalam Etika & Tradisi Jawa. Malang. UIN-Malang Press.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta; Pustaka Jaya.
Agus, Bustanudin. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rajawali Press.
________________________________________________________________________
[1] Bagian ini adalah hasil penelitian dengan pengamatan terlibat penulis di komunitas Jawa Osing (Banyuwangi) pada akhir 2001 hingga pertengahan tahun 2002.
[2] Ketika siraman dilaksanakan banyak orang yang berebut untuk mendapatkan air yang belum terjatuh ke tanah. Menurut kepercayaan mereka ait tersebut akan dipergunakan obat, tolak balak, keselamatan tanaman serta keperluan lainnya. Pengamatan 28 Desember 2001.
[3] Pengamatan, 27 Desember 2001
[4] Amir (ketua panitia), 9 Desember 2001
[5] Asenan, 28 Desember 2001
[6] Ibid., 103
[7] John Pemberton, On the subject of “Java” (Ithaca and London: Cornell University Press, 1994), 195
[8] Mahmud Shaltut, “Antara Tradisi Modernitas”, dalam Al-Hikmah; Jurnal Studi-studi Islam (Bnadung Yayasan Muthahhari, 1994), 6
[9] Pals, seven, 224
[10] Masalah modernisasi dan rasionalisasi. Lihat Edward Shils, Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1993), 295-298
Tidak ada komentar:
Posting Komentar